Landasan hukum yang menjamin persamaan kedudukan warga negara
Pemerintahan Negara republik Indonesia menjamin setiap warga negaranya memliki persamaan kedudukan yang sama di hukum dan pemerintah. Hal itu dituangkan dalam pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak kecualinya. Hal itu menunjukan bahwa adanya keseimbang antara hak dan kewajiban serta tidak adanya diskriminasi di antara warga Negara mengenai kedua hal tersebut.
Dalam system kewarganegaraan di Indonesia,kedudukan warga Negara pada dasarnya adalah sebagai pilar terwujudnya Negara. Sebagai sebuah Negara yang berdaulat dan merdeka Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dengan Negara lain didunia , pada dasarnya kedudukan warga Negara bagi Negara Indonesia diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan.
B. Rumusan permasalah
1. Hukum yang menjamin persamaaan kedudukan warga Negara?
2. persamaan kedudukan warga Negara di Indonesia?
3. Instruksi-instruksi presiden?
C. Tujuan makalah
1. Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
2. Mengetahui landasan-landasan Hukum yang menjamin persamaan kedudukan warga Negara
3. sebagai sumber informasi persamaan kedudukan warga Negara Indonesia
A. Undang-Undang Dasar Yang Menjamin Persamaan Kedudukan Warga Negara
pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam Hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung Hukum dan pemerintahan dengan tidak kecualinya. Hal itu menunjukan bahwa adanya keseimbang antara hak dan kewajiban serta tidak adanya diskriminasi di antara warga Negara mengenai kedua hal tersebut.
B. Landasan Hukum Pelaksanaan Persamaan Kedudukan Warga Negara
pada dasarnya kedudukan warga Negara bagi Negara Indonesia diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan.
Berikut peraturannaya:
a. UUD 1945 Dalam konteks UUD 1945, kedudukan warga Negara dan penduduk diatur dalam pasal 26 ayat (1), (2) dan (3)
(1) Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang warga Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga Negara.
(2) Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang-orang asing yang tinggal di Indonesia
(3) Hal-hal mengenai warga Negara penduduk diatur dengan UU
b. UU No. 3 tahun 1946 tentang warga Negara dan penduduk Negara undang-undang No. 3 adalh tentang warga Negara penduduk Negara. Peraturan ini merupakan peraturan derivasi di bawah UUD 1945 yang digunakan untuk menegakkan kedudukan Negara RI dengan warga negaranya dan kedudukan penduduk Negara RI
c. UU No. 62 tahun 1958 tentang kearganegaraan republic Indonesia merupakan produk Hukum derivasi dari pasal 5 dan 144 UUDRI 1950 yang sampai saat ini masih berlaku dan tetap digunakan sebagai sumber Hukum yang mengatur masalah kewarganegaraan di Indonesia. Ternyata permasalahan yang semakin kompleks tidak dapat ditampung oleh undang-undang ini.
d. UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan republic Indonesia
RUU kewarganegaraan yang baru ini memuat beberapa subtansi dasr yang lebih revolusioner dan aspiratif , seperti :
- Siapa yang menjadi warga Negara Indonesia
- Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan republic Indonesia
- Kehilangan kewarganegaraan republic Indonesia
- Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan republic Indonesia
- Ketentuan pidana
C. Instruksi Presiden Dalam Menegakkan Persamaaan Kedudukan Warga Negara
Presiden B.J. Habibie yang mengeluarkan instruksi presinden. instruksi presinden tersebut adalah instruksi presinden Republik indoonesia No. 26 tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istialah pribumi dannonpribumi dalam semua urusan dan penyelenggaraan pemerintah, perencanaan program, ataupun pelaksaan.
Selain itu juga diinstuksikan untuk memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga Negara Indonesia yang penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan, serta tidak boleh melakukan perbedaan dalam segala bentuk, sifat, dan tingkatan kepada warga Negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal usul ( unsur sara)
D. Pentingnya Persamaan Kedudukan Warga Negara
Warga Negara merupakan faktor berdirinya juga berkembangnya Negara. Apabila warga negaranya masih terpecah belah seperti halnya karena perbedaan unsur sara pasti Negara itu tidak bisa berdiri tegak dan tidak bisa berkembang sendirinya. Maka dari itu persamaan kedudukan warga Negara tidak perlu memandang atau membedakan unsur-unsur sara. Berarti dalam menyamakannya diperlukan hukum yang adil dan menjamin kedudukannya. Yaitu memproleh hak dan kewajiban yang sama dalam membangun Negara. Fungsi dari halnya tersebut agar terciptanya keadilan tanpa membedakan satu sama lain, terciptanya kedamaian antara satu sama lain, dan Negara dapat berkembang baik.
Dalam kedudukan warga Negara Tidak perlu membeda-bedakan satu sama lain antaranya Suku, agama, Ras, antar golongan serta asal usul dengan kemudian landasan hukum yang menjamin persamaan kedudukan warga Negara, kedudukan warga Negara lebih adil, menjamin kedudukan dalam masyarakat, dan adanya kesimbangan antara HAK dan KEWAJIBAN. Instruksi-instruksi presiden memperkuatkan Undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat.
B. Saran
Dari uraian diatas dapat dikatakan sebagai warga Negara harus menghormati dan menghargai membeda-bedakan unsur-unsur sara dalam masyarakat, dan menjaga UUD 1945 pasal 27 ayat 1 serta UUD lainnya. Seperti halnya semboyan atau moto Indonesia “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
A. Definisi konstitusi
1. Konstitusi negara merupakan dokumen nasional Dan kemerdekaan sebagai hasil perjuangan politik Bangsa yang juga berisi sistem politik dan sistem Hukum yang hendak diwujudkan pada masa yang Akan datang. Konstitusi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum dasar tertulis dan hukum tidak tertulis.
2. konstitusi suatu negara menurut undang-undang dasar adalah kaidah-kaidah yang tertulis dan konvensi yaitu hukum dasar berupa aturan-aturan tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam proktik penyelenggaraan negara.
3. Konstitusi Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) adalah UUD 1945. Konstitusi atau UUD dapat diartikan “peraturan dasar negara dan yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber perundang-undangan lainnya.
B. Sifat dan Fungsi konstitusi Negara
Sifat pokok konstitusi Negara adalah fleksibel (luwes), juga rigid (kaku). Konstitusi dikatakan fleksibel apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan jaman/dinamika masyarakat. sedangkan konstitusi negara dikatakan rigit / kaku apabila konstitusi itu sulit untuk diubah kapanpun
Contohnya Negara inggris dan selandia baru
Fungsi pokok konstitusi adalah membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang dan diharapkan hak-hak warga Negara akan terlindungi.
C. Tujuan konstitusi
Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara. Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.
Adapun tujuan-tujuan sebagai berikut:
Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak
Melindungi HAM maksudnya setiap penguasa berhak menghormati HAM orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.
Pada umumnya, substansi konstitusi memuat hal-hal berikut ini:
1. Bentuk negara dan bentuk pemerintahan
setiap konstitusi suatu negara pasti akan mencantumkan identitas dari negara tersebut. Konstitusi akan mencantumkan bentuk negara dan mencantumkan pula bentuk pemerintah dari suatu negara
2. Kedaulatan negara
apabila rakyat yang berdaulat, maka implementasinya muncul lembaga perwakilan rakyat seperti: MPR,DPR, majelis rendah, parlement DLL
3. Cita-cita rakyat dan ideologi
mencerminkan semangat kebangsaan biasanya dimuat dalam UUD dan dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Badan/lembaga-lembaga negara
konstitusi yang dipergunakan oleh berbagai negara akan memuat tentang badan atau lembaga negara yang mempunyai fungsi dan wewenang untuk melaksanakan pemerintahan negara. Seperti lembaga eksekutif artinya lembaga yang melaksanakan undang-undang, dan lembaga yudikatif artinya lembaga peradilan yang akan menindak terhadap pelanggaran undang-undang
5. Perlindungan hak asasi warga negara
Perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi sangat ditentukan oleh lembaga atau badan pembuat konstitusi. Dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari harus juga memerhatikan kewajiban dan menghormati hak asasi orang lain, serta tunduk pada pembatasan yng diatur dalam undang-undang dasar.
6. Sistem pemerintahan
Pada konstitusi yang berlaku disetiap negara selalu mencantumkan sistem pemerintah yan g dianut. Untuk indonesia menganut paham demokrasi Pancasila dengan kabinet presidensial.
7. Sistem perekomian
Sistem perekomian yang digariskan dalam konstitusi sangat dipengaruhi oleh ideologi atau paham yang dianut oleh negara tersebut. Indonesia menganut sisitem ekonomi kekeluargaan yang yang bedasarkan nilai-nilai pancasila.
8. Pemerintahan daerah atu negara bagian
Di dalam konstitusi juga d atur tentang bagaimana hubungan antara pemerintah ousat dengan pemerintah yang ada didaerah. Adapun konstitusi negara serikat isinya bagaimana mengatur hubungan antara kewenangan negara serikat dengan negara-negara bagian.
9. Pemilihan umum
Suatu negara demokrasi atau pemerintahan rakyat dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya akan mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum.
10.Prosedur perubahan konstitusi
Konstitusi akan mengatur tentang syarat-syarat perubahan konstitusi,misalnya:
a. Sidang badan legislatif di tambah syarat.
b. Referendum atau plebisit
c. Negara-negara bagian
d. Musyawarah khusus beberapa negara amerika latin.
D. Klasifikasi konstitusi Negara
konstitusi disetiap negara adalah merupakan hukum dasar, artinya dasar berlakunya seluruh peraturan perundangan dalam suatu negara.
konstitusi sebagai hukum dasar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Hukum dasar tertulis
adalah aturan-aturan dasar yang tertulis secara jelas dan nyata. Hukum dasar atau konstitusi tertulis dibedakan menjadi:
a. Konstitusi yang tertulis dalam suatu dokumen khusus.
b. Konstitusi yang tertulus dalam peraturan perundang-undangan
UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis memeliki kedudukan –kedudukan sebagai berikut:
a. Hukum yang pokok , yaitu huku tertinggi
b. Sumber hukum , artinya semua hukum yang berlaku harus bersumber dari UUD 1945.
c. Peraturan yang mengikat pemerintah, lembaga negara.
d. Hukum yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tata urutan perundang
2. Hukum dasar tidak tertulis
Hukum dasar tidak tertulis adalah hukum yang tidak tertulis dalam suatu undang-undang juga disebut kebiasaan-kebiasaan dalam penyelenggaraan negara. Rumusan yang di temukan dalam penjelasan UUD 1945 kebiasaan dalam penyelenggaran negara adalahn :
a. aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara (konvensi)
b. merupakan pelengkap dari hukum dasar tertulis terhadap ketentuan yang tidak diatur secara jelas.
c. Terjadi berulang kali namun diterima oleh masyarakat
d. hanya terjadi pada tingkatan nasional,karena konvensi adalah aturan yang tidak tertulis.
ketentuan-ketentuan Konstitusi ,yaitu:
1) Ketentuan konstitusi yang terdapat dalam kaidah-kaidah hukum adat.
2) Ketentuan konstitusi yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan ketata negaraan
3) Ketentuan adat istiadat yangmengandung unsur obligatory dan bersifat persuasif.
E. PERBANDINGAN KONSTITUSI PADA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN NEGARA LIBERAL
1. Konstitusi pada negara republik Indonesia
Konsepsi konstitusi negara indonesia bersumber pada undang-undang dasar 1945. dalam arti luas, konstitusi negara didasarkan pada pancasila yang tercantum dalam pembukaan UDD 1945, dan batang tubuh.
peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini:
a. Mekanisme konstitusional demokrasi pancasila
b. Lembaga-lembaga kenegaraan
2. Konstitusi pada negara liberal
Konsepsi pemikiran liberal di negara-negara barat muncul sebagai antiklimaks dari penguasa monarki absolut. Negara- negara ini menyuarakan kebebasan (liberte), persamaan (egilite), dan persaudaraan (fraternite). Beberapa tokoh yang memperjuangkan liberalisme antara lain: john locke (inggris), montesquieu dan J.J. rouseau (perancis) dan immanuel kant (jerman).
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
1. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
2. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
3. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
4. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
5. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
6. Samuel Beer, budaya politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaiman pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah.
7. Mochtar Masud dan Colin McAndrews, budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.
8. Larry Diamond, budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negara mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem itu.
Tipe-tipe Budaya politik
1. Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
2. Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
3. Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di Indonesia
Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila. Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era Reformasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa. Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya. Ada dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem politik lainnya, seperti organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik. Dengan pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja. Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi Winarno, 2008: 18).
Karena pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit mengulas mengenai perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan budaya politik.
1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006: 200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a. Proyek di pegang pejabat.
b. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d. Anak pejabat memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4. Era Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam Budi Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
a. Orientasi Terhadap kekuasaan
b. Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
c. Politik mikro vs politik makro
d. Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dsb.
e. Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
f. Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
g. Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
h. Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat dalam menjalani kehidupan politik. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara pendidikan formal, nonformal dan informal maupun secara tidak sengaja, baik melalui kontak dan pengalaman sehari-hari.
1. Pengertian sosialisasi politik menurut para ahli
a. Kenneth P. Langton, Sosialisasi politik adalah cara bagaimana masyarakat meneruskan kebudayaan politiknya.
b. Gabriel A. Almond, Sosialisasi politik adalah proses dimana sikap-sikap politik dan pola – pola tingkah laku diperoleh atau dibentuk, dan merupakan sarana bagi generasi muda untuk menyampaikan patokan politik dan keyakinan politik.
c. Richard E. Dawson, sosialisasi politik adalah pewarisan pengetahuan , nilai dan pandangan politik darimorang tua, guru dan sarana sosialisasi lainnya bagi warga baru dan yang beranjak dewasa.
d. Dennis Kavanagh, sosialisasi politik adalah istilah untuk mengganbarkan proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
e. Ramlan Surbakti, sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakatnya.
f. Alfian, sosialisasi Politik adalah usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.
Menurut Ramlan Surbakti ada dua macam sosialisasi politik dilihat dari metode penyampaian pesan :
a. Pendidikan Politik Yaitu proses dialogis diantara pemberi dan penerima pesan. Dari sini anggota masyarakat mempelajari simbol politik negaranya, norma maupun nilai politik.
b. Indoktrinasi Politik, yaitu proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai , norma dan simbol yang dianggap pihak berkuasa sebagai ideal dan baik.
Dalam upaya pengembangan budaya politik, sosialisasi politik sangant penting karena dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa, serta dapat memelihara kebudayaan politik suatu bangsa, penyampaian dari generasi tua ke generasi muda, dapat pula sosialisasi politik dapat mengubah kebudayaan politik.
Menurut Gabriel A. Almond, sosialisasi politik dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa dan mememlihara kebudayaan politik suatu bangsa dengan bentuk penyampaian dari generasi tua kepada generasi muda. Terdapat 6 sarana atau agen sosialisasi politik menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, adalah :
a. Keluarga yaitu lembaga pertama yang dijumpai sesorang individu saat lahir. Dalam keluarga anak ditanamkan sikap patuh dan hormat yang mungkin dapat mempengaruhi sikap seseorang dalam sistem politik setelah dewasa.
b. Sekolah yaitu sekolah sebagai agen sosialisasi politik memberi pengetahuan bagi kaum muda tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Disekolah memberi kesadaran pada anak tentang pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara, cinta tanah air.
c. Kelompk bermain yaitu kelompok bermain masa anak-anak yang dapat membentuk sikap politik seseorang, kelompok bermain saling memiliki ikatan erat antar anggota bermain. Seseorang dapat melakukan tindakan tertentu karena temannya melakukan hal itu.
d. Tempat kerja yaitu organisasi formal maupun nonformal yang dibentuk atas dasar pekerjaan seperti serikat kerja, sderikat buruh. Organisasi seperti ini dapat berfungsi sebagai penyuluh di bidang politik.
e. Media massa yaitu informasi tentang peristiwa yang terjadi dimana saja dengan cepat diketahui masyarakat sehingga dapat memberi pengetahuan dan informasi tentang politik.
f. Kontak-kontak politik langsung yaitu pengalaman nyata yang dirasakan oleh seseorang dapat berpengaruh terhadap sikap dan keputusan politik seseorang. Seperti diabaikan partainya, ditipu, rasa tidak aman,dll.
BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakangPemerintahan Negara republik Indonesia menjamin setiap warga negaranya memliki persamaan kedudukan yang sama di hukum dan pemerintah. Hal itu dituangkan dalam pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak kecualinya. Hal itu menunjukan bahwa adanya keseimbang antara hak dan kewajiban serta tidak adanya diskriminasi di antara warga Negara mengenai kedua hal tersebut.
Dalam system kewarganegaraan di Indonesia,kedudukan warga Negara pada dasarnya adalah sebagai pilar terwujudnya Negara. Sebagai sebuah Negara yang berdaulat dan merdeka Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dengan Negara lain didunia , pada dasarnya kedudukan warga Negara bagi Negara Indonesia diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan.
B. Rumusan permasalah
1. Hukum yang menjamin persamaaan kedudukan warga Negara?
2. persamaan kedudukan warga Negara di Indonesia?
3. Instruksi-instruksi presiden?
C. Tujuan makalah
1. Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
2. Mengetahui landasan-landasan Hukum yang menjamin persamaan kedudukan warga Negara
3. sebagai sumber informasi persamaan kedudukan warga Negara Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam Hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung Hukum dan pemerintahan dengan tidak kecualinya. Hal itu menunjukan bahwa adanya keseimbang antara hak dan kewajiban serta tidak adanya diskriminasi di antara warga Negara mengenai kedua hal tersebut.
B. Landasan Hukum Pelaksanaan Persamaan Kedudukan Warga Negara
pada dasarnya kedudukan warga Negara bagi Negara Indonesia diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan.
Berikut peraturannaya:
a. UUD 1945 Dalam konteks UUD 1945, kedudukan warga Negara dan penduduk diatur dalam pasal 26 ayat (1), (2) dan (3)
(1) Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang warga Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga Negara.
(2) Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang-orang asing yang tinggal di Indonesia
(3) Hal-hal mengenai warga Negara penduduk diatur dengan UU
b. UU No. 3 tahun 1946 tentang warga Negara dan penduduk Negara undang-undang No. 3 adalh tentang warga Negara penduduk Negara. Peraturan ini merupakan peraturan derivasi di bawah UUD 1945 yang digunakan untuk menegakkan kedudukan Negara RI dengan warga negaranya dan kedudukan penduduk Negara RI
c. UU No. 62 tahun 1958 tentang kearganegaraan republic Indonesia merupakan produk Hukum derivasi dari pasal 5 dan 144 UUDRI 1950 yang sampai saat ini masih berlaku dan tetap digunakan sebagai sumber Hukum yang mengatur masalah kewarganegaraan di Indonesia. Ternyata permasalahan yang semakin kompleks tidak dapat ditampung oleh undang-undang ini.
d. UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan republic Indonesia
RUU kewarganegaraan yang baru ini memuat beberapa subtansi dasr yang lebih revolusioner dan aspiratif , seperti :
- Siapa yang menjadi warga Negara Indonesia
- Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan republic Indonesia
- Kehilangan kewarganegaraan republic Indonesia
- Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan republic Indonesia
- Ketentuan pidana
C. Instruksi Presiden Dalam Menegakkan Persamaaan Kedudukan Warga Negara
Presiden B.J. Habibie yang mengeluarkan instruksi presinden. instruksi presinden tersebut adalah instruksi presinden Republik indoonesia No. 26 tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istialah pribumi dannonpribumi dalam semua urusan dan penyelenggaraan pemerintah, perencanaan program, ataupun pelaksaan.
Selain itu juga diinstuksikan untuk memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga Negara Indonesia yang penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan, serta tidak boleh melakukan perbedaan dalam segala bentuk, sifat, dan tingkatan kepada warga Negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal usul ( unsur sara)
D. Pentingnya Persamaan Kedudukan Warga Negara
Warga Negara merupakan faktor berdirinya juga berkembangnya Negara. Apabila warga negaranya masih terpecah belah seperti halnya karena perbedaan unsur sara pasti Negara itu tidak bisa berdiri tegak dan tidak bisa berkembang sendirinya. Maka dari itu persamaan kedudukan warga Negara tidak perlu memandang atau membedakan unsur-unsur sara. Berarti dalam menyamakannya diperlukan hukum yang adil dan menjamin kedudukannya. Yaitu memproleh hak dan kewajiban yang sama dalam membangun Negara. Fungsi dari halnya tersebut agar terciptanya keadilan tanpa membedakan satu sama lain, terciptanya kedamaian antara satu sama lain, dan Negara dapat berkembang baik.
BAB III
PENUTUP
A. KesimpulanDalam kedudukan warga Negara Tidak perlu membeda-bedakan satu sama lain antaranya Suku, agama, Ras, antar golongan serta asal usul dengan kemudian landasan hukum yang menjamin persamaan kedudukan warga Negara, kedudukan warga Negara lebih adil, menjamin kedudukan dalam masyarakat, dan adanya kesimbangan antara HAK dan KEWAJIBAN. Instruksi-instruksi presiden memperkuatkan Undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat.
B. Saran
Dari uraian diatas dapat dikatakan sebagai warga Negara harus menghormati dan menghargai membeda-bedakan unsur-unsur sara dalam masyarakat, dan menjaga UUD 1945 pasal 27 ayat 1 serta UUD lainnya. Seperti halnya semboyan atau moto Indonesia “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
========================================================================
Subtansi konstitusi negara
A. Definisi konstitusi
1. Konstitusi negara merupakan dokumen nasional Dan kemerdekaan sebagai hasil perjuangan politik Bangsa yang juga berisi sistem politik dan sistem Hukum yang hendak diwujudkan pada masa yang Akan datang. Konstitusi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu hukum dasar tertulis dan hukum tidak tertulis.
2. konstitusi suatu negara menurut undang-undang dasar adalah kaidah-kaidah yang tertulis dan konvensi yaitu hukum dasar berupa aturan-aturan tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam proktik penyelenggaraan negara.
3. Konstitusi Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI) adalah UUD 1945. Konstitusi atau UUD dapat diartikan “peraturan dasar negara dan yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber perundang-undangan lainnya.
B. Sifat dan Fungsi konstitusi Negara
Sifat pokok konstitusi Negara adalah fleksibel (luwes), juga rigid (kaku). Konstitusi dikatakan fleksibel apabila konstitusi itu memungkinkan adanya perubahan sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan jaman/dinamika masyarakat. sedangkan konstitusi negara dikatakan rigit / kaku apabila konstitusi itu sulit untuk diubah kapanpun
Contohnya Negara inggris dan selandia baru
Fungsi pokok konstitusi adalah membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang dan diharapkan hak-hak warga Negara akan terlindungi.
C. Tujuan konstitusi
Tujuan dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk mewujudkan tujuan Negara. Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.
Adapun tujuan-tujuan sebagai berikut:
Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak
Melindungi HAM maksudnya setiap penguasa berhak menghormati HAM orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.
Pada umumnya, substansi konstitusi memuat hal-hal berikut ini:
1. Bentuk negara dan bentuk pemerintahan
setiap konstitusi suatu negara pasti akan mencantumkan identitas dari negara tersebut. Konstitusi akan mencantumkan bentuk negara dan mencantumkan pula bentuk pemerintah dari suatu negara
2. Kedaulatan negara
apabila rakyat yang berdaulat, maka implementasinya muncul lembaga perwakilan rakyat seperti: MPR,DPR, majelis rendah, parlement DLL
3. Cita-cita rakyat dan ideologi
mencerminkan semangat kebangsaan biasanya dimuat dalam UUD dan dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Badan/lembaga-lembaga negara
konstitusi yang dipergunakan oleh berbagai negara akan memuat tentang badan atau lembaga negara yang mempunyai fungsi dan wewenang untuk melaksanakan pemerintahan negara. Seperti lembaga eksekutif artinya lembaga yang melaksanakan undang-undang, dan lembaga yudikatif artinya lembaga peradilan yang akan menindak terhadap pelanggaran undang-undang
5. Perlindungan hak asasi warga negara
Perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi sangat ditentukan oleh lembaga atau badan pembuat konstitusi. Dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari harus juga memerhatikan kewajiban dan menghormati hak asasi orang lain, serta tunduk pada pembatasan yng diatur dalam undang-undang dasar.
6. Sistem pemerintahan
Pada konstitusi yang berlaku disetiap negara selalu mencantumkan sistem pemerintah yan g dianut. Untuk indonesia menganut paham demokrasi Pancasila dengan kabinet presidensial.
7. Sistem perekomian
Sistem perekomian yang digariskan dalam konstitusi sangat dipengaruhi oleh ideologi atau paham yang dianut oleh negara tersebut. Indonesia menganut sisitem ekonomi kekeluargaan yang yang bedasarkan nilai-nilai pancasila.
8. Pemerintahan daerah atu negara bagian
Di dalam konstitusi juga d atur tentang bagaimana hubungan antara pemerintah ousat dengan pemerintah yang ada didaerah. Adapun konstitusi negara serikat isinya bagaimana mengatur hubungan antara kewenangan negara serikat dengan negara-negara bagian.
9. Pemilihan umum
Suatu negara demokrasi atau pemerintahan rakyat dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan lainnya akan mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum.
10.Prosedur perubahan konstitusi
Konstitusi akan mengatur tentang syarat-syarat perubahan konstitusi,misalnya:
a. Sidang badan legislatif di tambah syarat.
b. Referendum atau plebisit
c. Negara-negara bagian
d. Musyawarah khusus beberapa negara amerika latin.
D. Klasifikasi konstitusi Negara
konstitusi disetiap negara adalah merupakan hukum dasar, artinya dasar berlakunya seluruh peraturan perundangan dalam suatu negara.
konstitusi sebagai hukum dasar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Hukum dasar tertulis
adalah aturan-aturan dasar yang tertulis secara jelas dan nyata. Hukum dasar atau konstitusi tertulis dibedakan menjadi:
a. Konstitusi yang tertulis dalam suatu dokumen khusus.
b. Konstitusi yang tertulus dalam peraturan perundang-undangan
UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis memeliki kedudukan –kedudukan sebagai berikut:
a. Hukum yang pokok , yaitu huku tertinggi
b. Sumber hukum , artinya semua hukum yang berlaku harus bersumber dari UUD 1945.
c. Peraturan yang mengikat pemerintah, lembaga negara.
d. Hukum yang memiliki kedudukan tertinggi dalam tata urutan perundang
2. Hukum dasar tidak tertulis
Hukum dasar tidak tertulis adalah hukum yang tidak tertulis dalam suatu undang-undang juga disebut kebiasaan-kebiasaan dalam penyelenggaraan negara. Rumusan yang di temukan dalam penjelasan UUD 1945 kebiasaan dalam penyelenggaran negara adalahn :
a. aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara (konvensi)
b. merupakan pelengkap dari hukum dasar tertulis terhadap ketentuan yang tidak diatur secara jelas.
c. Terjadi berulang kali namun diterima oleh masyarakat
d. hanya terjadi pada tingkatan nasional,karena konvensi adalah aturan yang tidak tertulis.
ketentuan-ketentuan Konstitusi ,yaitu:
1) Ketentuan konstitusi yang terdapat dalam kaidah-kaidah hukum adat.
2) Ketentuan konstitusi yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan ketata negaraan
3) Ketentuan adat istiadat yangmengandung unsur obligatory dan bersifat persuasif.
E. PERBANDINGAN KONSTITUSI PADA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN NEGARA LIBERAL
1. Konstitusi pada negara republik Indonesia
Konsepsi konstitusi negara indonesia bersumber pada undang-undang dasar 1945. dalam arti luas, konstitusi negara didasarkan pada pancasila yang tercantum dalam pembukaan UDD 1945, dan batang tubuh.
peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini:
a. Mekanisme konstitusional demokrasi pancasila
b. Lembaga-lembaga kenegaraan
2. Konstitusi pada negara liberal
Konsepsi pemikiran liberal di negara-negara barat muncul sebagai antiklimaks dari penguasa monarki absolut. Negara- negara ini menyuarakan kebebasan (liberte), persamaan (egilite), dan persaudaraan (fraternite). Beberapa tokoh yang memperjuangkan liberalisme antara lain: john locke (inggris), montesquieu dan J.J. rouseau (perancis) dan immanuel kant (jerman).
Budaya politik
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
1. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
2. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
3. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
4. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
5. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
6. Samuel Beer, budaya politik adalah nilai-nilai keyakinan dan sikap-sikap emosi tentang bagaiman pemerintahan seharusnya dilaksanakan dan tentang apa yang harus dilakukan oleh pemerintah.
7. Mochtar Masud dan Colin McAndrews, budaya politik adalah sikap dan orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.
8. Larry Diamond, budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik negara mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem itu.
Tipe-tipe Budaya politik
1. Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
2. Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
3. Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di Indonesia
Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila. Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era Reformasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa. Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya. Ada dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem politik lainnya, seperti organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik. Dengan pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja. Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi Winarno, 2008: 18).
Karena pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit mengulas mengenai perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan budaya politik.
1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.
2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006: 200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :
a. Proyek di pegang pejabat.
b. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).
c. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.
d. Anak pejabat memegang posisi strategis baik di pemerintahan maupun politik.
4. Era Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Menurut Ignas Kleden dalam Budi Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
a. Orientasi Terhadap kekuasaan
b. Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
c. Politik mikro vs politik makro
d. Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dsb.
e. Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
f. Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
g. Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
h. Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat dalam menjalani kehidupan politik. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara pendidikan formal, nonformal dan informal maupun secara tidak sengaja, baik melalui kontak dan pengalaman sehari-hari.
1. Pengertian sosialisasi politik menurut para ahli
a. Kenneth P. Langton, Sosialisasi politik adalah cara bagaimana masyarakat meneruskan kebudayaan politiknya.
b. Gabriel A. Almond, Sosialisasi politik adalah proses dimana sikap-sikap politik dan pola – pola tingkah laku diperoleh atau dibentuk, dan merupakan sarana bagi generasi muda untuk menyampaikan patokan politik dan keyakinan politik.
c. Richard E. Dawson, sosialisasi politik adalah pewarisan pengetahuan , nilai dan pandangan politik darimorang tua, guru dan sarana sosialisasi lainnya bagi warga baru dan yang beranjak dewasa.
d. Dennis Kavanagh, sosialisasi politik adalah istilah untuk mengganbarkan proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
e. Ramlan Surbakti, sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakatnya.
f. Alfian, sosialisasi Politik adalah usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.
Menurut Ramlan Surbakti ada dua macam sosialisasi politik dilihat dari metode penyampaian pesan :
a. Pendidikan Politik Yaitu proses dialogis diantara pemberi dan penerima pesan. Dari sini anggota masyarakat mempelajari simbol politik negaranya, norma maupun nilai politik.
b. Indoktrinasi Politik, yaitu proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai , norma dan simbol yang dianggap pihak berkuasa sebagai ideal dan baik.
Dalam upaya pengembangan budaya politik, sosialisasi politik sangant penting karena dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa, serta dapat memelihara kebudayaan politik suatu bangsa, penyampaian dari generasi tua ke generasi muda, dapat pula sosialisasi politik dapat mengubah kebudayaan politik.
Menurut Gabriel A. Almond, sosialisasi politik dapat membentuk dan mentransmisikan kebudayaan politik suatu bangsa dan mememlihara kebudayaan politik suatu bangsa dengan bentuk penyampaian dari generasi tua kepada generasi muda. Terdapat 6 sarana atau agen sosialisasi politik menurut Mochtar Masoed dan Colin MacAndrews, adalah :
a. Keluarga yaitu lembaga pertama yang dijumpai sesorang individu saat lahir. Dalam keluarga anak ditanamkan sikap patuh dan hormat yang mungkin dapat mempengaruhi sikap seseorang dalam sistem politik setelah dewasa.
b. Sekolah yaitu sekolah sebagai agen sosialisasi politik memberi pengetahuan bagi kaum muda tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Disekolah memberi kesadaran pada anak tentang pentingnya kehidupan berbangsa dan bernegara, cinta tanah air.
c. Kelompk bermain yaitu kelompok bermain masa anak-anak yang dapat membentuk sikap politik seseorang, kelompok bermain saling memiliki ikatan erat antar anggota bermain. Seseorang dapat melakukan tindakan tertentu karena temannya melakukan hal itu.
d. Tempat kerja yaitu organisasi formal maupun nonformal yang dibentuk atas dasar pekerjaan seperti serikat kerja, sderikat buruh. Organisasi seperti ini dapat berfungsi sebagai penyuluh di bidang politik.
e. Media massa yaitu informasi tentang peristiwa yang terjadi dimana saja dengan cepat diketahui masyarakat sehingga dapat memberi pengetahuan dan informasi tentang politik.
f. Kontak-kontak politik langsung yaitu pengalaman nyata yang dirasakan oleh seseorang dapat berpengaruh terhadap sikap dan keputusan politik seseorang. Seperti diabaikan partainya, ditipu, rasa tidak aman,dll.
0 komentar:
Post a Comment