Masalah-Masalah
Kependudukan Yang Berdampak Negatif Terhadap Lingkungan
PERMASALAHAN PENDUDUK
Permasalahan penduduk di Indonesia:
Masalah akibat
angka kelahiran
Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban
pemerintah dalam hal penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatan.Selain
itu pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat tinggi akibatnya bagi suatu
negara berkembang akan menunjukkan korelasi negatif dengan tingkat
kesejahteraan penduduknya.
Masalah akibat angka kematian
Semakin bertambah angka harapan hidup berarti perlu adanya
peran pemerintah dalam menyediakan fasilitas penampungan dan penyediaan gizi
yang memadai bagi anak balita.Sebaliknya apabila tingkat mortalitas tinggi akan
berdampak terhadap reputasi indonesia di mata dunia.
Masalah Jumlah Penduduk
Masalah yang timbul akibat jumlah penduduk adalah aspek
ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga karena banyaknya beban
tanggungan sehingga sulit untuk memenuhi gizi yang dibutuhkan.
Masalah mobilitas Penduduk
Pertumbuhan penduduk perkotaan selalu menunjukkan
peningkatan yang terus menerus hal ini disebabkan pesatnya perkembangan ekonomi
dengan perkembangan industri pertumbuhan sarana dan prasarana jalan perkotaan.
Selain itu, semakin banyak terjadi urbanisasi karena
orang-orang desa yang dulunya kecukupan pangan namun tidak menikmati
pembangunan mulai berbondong-bondong pindah ke kota. Generasi muda tidak ada
yang mau menjadi petani.
Masalah Kepadatan
Penduduk
Ketidakseimbangan kepadatan penduduk ini mengakibatkan
ketidakmerataan pembangunan baik fisik maupun nonfisik yang selanjutnya
mengakibatkan keinginan pindah semakin tinggi.
Dampak Permasalahan
Penduduk Terhadap Lingkungan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan dan keragaman
alam serta budaya yang luar biasa. Indonesia merupakan negara mega biodiversity
kedua setelah Brazil. Indonesia memiliki 42 ekosistem darat dan 5 ekosistem
yang khas. Indonesia juga memiliki 81.000 km garis pantai yang indah dan kaya.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 22 % dari seluruh luas mangrove
di dunia.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia merupakan negara
dengan nomor urut keempat dalam besarnya jumlah penduduk setelah China, India,
dan Amerika Serikat. Menurut data statistik dari BPS, jumlah penduduk Indonesia
saat ini adalah 225 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan bayi sebesar 1,39 % per
tahun. Angka pertumbuhan ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan angka
pertumbuhan bayi pada tahun 1970, yaitu sebesar 2,34%. Dengan jumlah penduduk
sebesar 225 juta jiwa, maka pertambahan penduduk setiap tahunnya adalah 3,5
juta jiwa. Jumlah itu sama dengan jumlah seluruh penduduk di Singapura.
Lonjakan penduduk yang sangat tinggi atau baby booming di
Indonesia akan berdampak sangat luas, termasuk juga dampak bagi ekologi atau
lingkungan hidup. Hal itu dapat mengganggu keseimbangan, bahkan merusak
ekosistem yang ada. Menurut Poo Tjian Sie, coordinator Komunitas Tionghoa
Peduli Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ekosistem atau system
kehidupan yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
(tatanan alam),dan makhluk hidup, termasuk manusia dengan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
Dengan jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, membuat
tekanan terhadap lingkungan hidup menjadi sangat besar. Paling tidak, 40 juta
penduduk hidupnya tergantung pada keanekaragaman hayati di pantai dan perairan.
Pada saat yang sama, bahwa sekitar 20% penduduk Indonesia hidup di bawah garis
kemiskinan. Sekitar 43% penduduk Indonesia masih tergantung pada kayu bakar.
Dan pada tahun 2003, hanya 33% penduduk Indonesia mempunyai akses pada air
bersih melalui ledeng dan pompa. Tahun 2000, Jawa dan Bali telah mengalami
defisit air mencapai 53.000 meter kubik dan 7.500 meter kubik, sementara di
Sulawesi 42.500 meter kubik. Saat yang sama banjir telah melanda di berbagai
tempat di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia telah salah
mengelola air di Bumi ini.
Dampak lonjakan penduduk di Indonesia terhadap lingkungan
hayati, sudah dapat kita lihat sejak tahun 2001, laporan Bank Dunia
menyebutkan, bahwa luas hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan yang
sangat signifikan, dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982, menjadi 3,24 juta
hektar pada tahun 1987 dan menjadi hanya 2,06 juta hektar pada tahun 1995. Di
sektor kehutanan telah terjadi deforestasi yang meningkat dalam dekade ini.
Bank Dunia (2003) dan Departemen Kehutanan melaporkan tingkat deforestasi di
Indonesia telah mencapai lebih dari dua juta hektar per tahun. Apabila tingkat
kehilangan hutan ini tetap 2 juta hektar per tahun, maka 48 tahun ke depan,
seluruh wilayah Indonesia akan menjadi gurun pasir yang gundul dan panas.
Lautan di Indonesia juga mengalami kerusakan terumbu karang. Data dari Bank
Dunia bahwa saat ini sekitar 41% terumbu karang dalam keadaan rusak parah, 29%
rusak, 25% lumayan baik, dan hanya 5% yang masih dalam keadaan alami. Sekitar
50% hutan bakau di Sulawesi telah hilang (sebagian besar menjadi tambak udang).
Beberapa kawasan juga mengalami pencemaran. Ini terjadi di kawasan-kawasan yang
sibuk dengan kegiatan pelayaran, atau perairan yang bersinggungan dengan
kota-kota besar, seperti perairan teluk Jakarta dan Surabaya.
Menurut Ir. Boby Setiawan MA., PhD, Kepala Pusat Studi
Lingkungan Hidup UGM, untuk mamalia terdapat sekitar 112 jenis yang terancam
punah di Indonesia. Sementara untuk burung, terdapat sekitar 104 jenis yang
mengalami ancaman serius.
Menurut Malthus, pertumbuhan jumlah penduduk, bila tidak
dikendalikan, akan naik menurut deret ukur (1,2,4,8,dst). Produksi pangan
meningkat hanya menurut deret hitung (1,2,3,4,dst). Di Indonesia dengan ledakan
penduduk saat ini, mengakibatkan dampak sosial yaitu mengalami krisis pangan.
Bahkan di dunia pun terjadi krisis pangan global.
Selain itu, semakin banyak terjadi urbanisasi karena
orang-orang desa yang dulunya kecukupan pangan namun tidak menikmati
pembangunan mulai berbondong-bondong pindah ke kota. Generasi muda tidak ada
yang mau menjadi petani.
Tahun 2008 dicanangkan sebagai tahun sanitasi sedunia.
Jumlah penduduk yang melonjak dipastikan menambah persoalan sanitasi. Sekitar 1
juta jamban di kawasan Jabotabek
dibangun dengan jarak kurang dari 10 meter dari sumur. Jika penduduk kota terus
melonjak, entah karena urbanisasi atau kelahiran alami, sementara jumlah WC nya
tetap bisa dibayangkan sendiri akan menjadi apa jamban tersebut. Kualitas hidup
di kota menjadi merosot. Beragam penyakit seperti diare akan menyebar.
Ujung dari semua ledakan penduduk itu adalah kerusakan
lingkungan dengan segala dampak ikutannya seperti menurunnya kualitas pemukiman
dan lahan yang ditelantarkan, serta hilangnya fungsi ruang terbuka. Dampak
lonjakan populasi bagi lingkungan sebenarnya tidak sederhana. Persoalannya
rumit mengingat persoalan terkait dengan manusia dan lingkungan hidup. Butuh
kesadaran besar bagi tiap warga negara, khususnya pasangan yang baru menikah,
untuk merencanakan jumlah anak.
KEBERADAAN IPTEK YANG
SECARA LANGSUNG / TIDAK LANGSUNG MENINGKATKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
IPTEK Lingkungan ialah teknologi yang berkaitan dengan
pemanfaatan dalam kaitannya dengan manajemen lingkungan Sumber Daya Alam (SDA)
dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersusun sistematis dengan metode tertentu
untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu pada bidang IPTEK terhadap lingkungan
tanpa merusak keseimbangan lingkungan . Upaya pelestarian lingkungan tidak
hanya diperlukan saat pembukaan lahan dan penata gunaan tanah. Juga selama
kegiatan pembudidayaan sampai ke pengolahan hasil. Pelestarian lingkungan pada
semua tahapan produksi perlu menjadi tekad masyarakat, terlebih dalam
menghadapi semakin nyaringnya tuntutan pada “produksi hijau”. Selain itu, tekad
masyarakat melestarikan lingkungan dapat menjadi perisai terhadap kecaman
tentang kerusakan lingkungan perkebunan.
IPTEK Lingkungan
meliputi:
1. Pengolahan Sampah.
2. Pengolahan Limbah.
3. Konservasi Lingkungan.
4. Badan Pertanian Teknologi bibit & benih, Rekayasa
Genetika.
Pengolahan sampah
Tumpukan sampah yang setiap hari bertambah satu hingga 1,5
ton, mulai teratasi menyusul beroperasinya pengelolaan sampah terpadu terutama
Jakarta, pengelolaan sampah terpadu mampu mengurangi limbah rumah tangga hingga
60-65 persen, sedangkan 35-40 persen sisanya diangkut ke Tempat Pembuangan
Akhir (TPA)
Pengelolaannya harus melibatkan semua warga, oleh karena
itu, rumah tangga harus melakukan pemilahan sampah menjadi tiga bagian, yaitu
sampah organik basah (sisa makanan, sayur), kering (kertas, dus, botol), dan
limbah berbahaya seperti aki dan baterai bekas, sprayer insektisida, serta
pembalut wanita.
Pengolahan Limbah
Limbah ialah hasil buangan suatu pembakaran atau sisa hasil
produksi yang mengandung zat kimia berbahaya yang dapat merusak keseimbangan
lingkungan. Industri primer pengolahan hasil hutan merupakan salah satu
penyumbang limbah cair yang berbahaya bagi lingkungan. Bagi industri-industri
besar, seperti industri pulpen dan kertas, teknologi pengolahan limbah cair
yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, namun tidak demikian bagi industri
kecil atau sedang. Namun demikian, mengingat penting dan besarnya dampak yang
ditimbulkan limbah cair bagi lingkungan, penting bagi sektor industri kehutanan
untuk memahami dasar-dasar teknologi pengolahan limbah cair.
Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam
memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah
domestik maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara
oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi pengolahan yang dipilih harus sesuai
dengan kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan, agar Lingkungan
terjaga dan terlestarikan.
Konservasi Lingkungan
Mendukung dan ikut serta dalam program konservasi lingkungan
dan bekerja sama akan menghasilkan suatu pembangunan yang ramah lingkungan
serta memperhatikan pada pembangunan ekonomi yang bersifat berkelanjutan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan. Karena terpeliharanya kelestarian
lingkungan, termasuk dengan menjaga kelangsungan hidup spesies laut dan terumbu
karang merupakan hal yang memberikan manfaat dan keuntungan bersama dan
berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang sehingga dinikmati oleh generasi
yang akan datang.
Badan Pertanian Teknologi Bibit &
Benih, Rekayasa Genetika
Upaya peningkatan produktivitas dan mutu produk yang sesuai
dengan dinamika lingkungan diharapkan dapat dilakukan melalui penelitian
bioteknologi. Manipulasi potensi genetik melalui penelitian biologi molekuler,
mikrobiologi, bioproses, kultur jaringan dan rekayasa genetika harus dihasilkan
untuk memenuhi kebutuhan maka harus dilakukan bioteknologi.
Maka teknik rekayasa genetika mulai menggelisahkan. Banyak
kalangan khawatir bahwa dampak revolusi hijau tahun 1960-an akan terulang
kembali. Penggunaan teknologi dan paksaan pasar yang dilakukan dalam revolusi
hijau memang menghasilkan produksi pangan dalam jumlah besar. Namun terbukti
upaya tersebut mengganggu keseimbangan ekologi, menciptakan wabah baru, dan
sejumlah dampak kesehatan bagi manusia.
Hal sama dikhawatirkan terjadi mengikuti inisiatif rekayasa
genetik yang saat ini getol dilakukan pada tanaman. Segelintir perusahaan
bioteknologi meyakinkan bahwa seluruh benih transgenik yang dipasarkan sudah
melalui berbagai tahap percobaan. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir terhadap
dampak lingkungan dan kesehatan yang akan muncul.
Namun keyakinan serupa ternyata tidak dimiliki oleh para
aktivis lingkungan dan mereka yang concern terhadap masalah lingkungan.
Pesimisme ini muncul setelah tidak ada penjelasan transparan tentang resiko
yang menyertai pelepasan benih transgenik ini ke alam bebas.
Di Amerika Serikat, organisasi lingkungan Greenpeace bahkan
mengajukan petisi ke Environmental Protection Agency (EPA) agar membatalkan
semua perijinan tanaman hasil rekayasa genetik.
Sementara di Indonesia, sejumlah LSM lingkungan mendesak
pemerintah bersikap transparan kepada masyarakat soal tanaman transgenik.
Terlebih Departemen Pertanian kini aktif menguji sejumlah benih transgenik
termasuk kedelai, jagung dan kapas. Khusus untuk yang terakhir bahkan telah
dilakukan pelepasan di Sulawesi Selatan pada 7 Februari 2001. Dan sampai saat
ini terus memancing perdebatan yang tidak ada hentinya.
Karena Pembangunan yang tidak menjaga keseimbangan
lingkungan terjadi dan meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Alasan
tersebut diperparah dengan kurangnya perhatian masyarakat dan ketidak
konsistenannya pemerintah dalam menata permasalahan lingkungan. Akibat ketidak
acuhan tersebut baru dapat dirasakan akhir-akhir ini, ketika banyak peristiwa
banjir bandang yang melanda berbagai daerah di negara kita.
Setidaknya wawasan mengenai lingkungan, Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) akan mengarah pada pemeliharaan dan pelestarian lingkungan
hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan peri-kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
PERAN IPTEK DALAM
LINGKUNGAN
IPTEK memegang peranan penting bagi negara-negara berkembang
dalam proses peningkatan standar hidup, kesejahteraan, dan melindungi sumber
daya alam dan keanekaragaman hayati. Negara-negara berkembang menghadapi
berbagai tantangan jangka pendek dan jangka panjang. Perubahan penggunaan lahan
melalui penggundulan hutan dan perubahan lahan pertanian akibat aktivitas
sosio-ekonomi di daerah tangkapan air di hulu, telah menyebabkan terjadinya
berbagai kerusakan lingkungan dan infrastruktur akibat bencana yang
ditimbulkannya. Kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air, menyebabkan
kelangkaan air bersih di berbagai negara, selain bencana banjir ketika musim
penghujan.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan mahluk hidup (termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya)
yang mempengaruhi peri-kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup
lainnya. Oleh karena itu kelestarian dan keseimbangan alam perlu dipertahankan
agar senantiasa memberikan daya dukung bagi kehidupan manusia ke taraf hidup
yang lebih baik.
Namun yang terjadi kini malah sebaliknya, Dominasi manusia
terhadap lingkungan seringkali berdampak buruk. Pembangunan dan penguasaan
IPTEK dalam mengeksplorasi alam untuk peningkatan ekonomi seringkali melampaui
batas dan sering kali mengabaikan kondisi lingkungan itu sendiri. Padahal
kemampuan sumber daya dan kemampuan alam untuk mengeliminasi Zat pencemar
adalah terbatas. Apalagi saat ini, krisis yang melanda negeri ini menyebabkan
kehidupan lebih memburuk.
Belum optimalnya peran IPTEK dalam mengatasi degradasi
fungsi lingkungan hidup. Kemajuan IPTEK berakibat pula pada munculnya
permasalahan lingkungan. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh belum
berkembangnya sistem manajemen dan teknologi pelestarian fungsi lingkungan
hidup. Sistem tersebut akan mendorong pengembangan dan pemanfaatan IPTEK yang
bernilai ekonomis, ramah lingkungan dan mempertimbangkan nilai-nilai sosial
budaya masyarakat setempat.
Sektor lingkungan hidup merupakan isu penting di dunia saat
ini. Secara garis besar, pemanfaatan IPTEK harus senantiasa mempertimbangkan
unsur lingkungan hidup. Artinya, pemanfaatannya harus sejauh mungkin ramah
lingkungan. Komitmen pemerintah terhadap lingkungan hidup juga sudah lumayan
tinggi. Salah satu buktinya, sudah ada Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang
khusus mengurusi hal itu pada pemerintahan yang ada saat ini.
DAMPAK IPTEK TERHADAP
LINGKUNGAN
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya
negara-negara latin yang cendrung memakai teknologi dalam industri yang
ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya
seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi
karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara
importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara
pengadopsi hanya menjadi konsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena
tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi
dan industri dari negara maju. Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara
berkembang dalam mengadopsi teknologi (IPTEK) dan industri, searah dengan
pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang menyebutkan bahwa untuk masuk
dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang
agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di
negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan
pembangunan berikutnya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam
memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses
industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia,
seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini
dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun
dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai
produk yang dibutuhkan oleh manusia. Disamping itu, IPTEK dikembangkan dalam
bidang antariksa dan militer, menyebabkan terjadinya eksploitasi energi, sumber
daya alam dan lingkungan yang dilakukan untuk memenuhi berbagai produk yang
dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca
(greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis,
dan meluasnya gurun, serta melumernya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan
Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan
kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang
(Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 – 20). Selain itu, terdapat juga indikasi
yang memperlihatkan tidak terkendalinya polusi dan pencemaran lingkungan akibat
banyak zat-zat buangan dan limbah industri dan rumah tangga yang memperlihatkan
ketidak-perdulian terhadap lingkungan hidup. Akibat-akibat dari
ketidak-perdulian terhadap lingkungan ini tentu saja sangat merugikan manusia,
yang dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
masalah pencemaran lingkungan baik oleh karena industri maupun konsumsi
manusia, memerlukan suatu pola sikap yang dapat dijadikan sebagai modal dalam
mengelola dan menyiasati permasalahan lingkungan.
Sering kali ditemukan pernyataan yang menyamakan istilah
ekologi dan lingkungan hidup, karena permasalahannya yang bersamaan. Inti dari
permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan makhluk hidup, khususnya manusia
dengan lingkungan hidupnya. IImu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup
dengan lingkungan hidupnya di sebut ekologi (Soemarwoto, 1991: 19). Lingkungan
hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya.
keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dengan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan peri-kehidupannya dan kesejahteraan manusia
serta mahluk hidup lainnya (Soerjani, dalam Sudjana dan Burhan, 1996: 13).
Dari definisi diatas tersirat bahwa mahluk hidup khususnya
merupakan pihak yang selalu memanfaatkan lingkungan hidupnya, baik dalam hal
respirasi, pemenuhan kebutuhan pangan, papan dan lain-lain. Manusia
berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yang dapat mempengaruhi dan
mempengaruhi oleh lingkungan hidupnya, membentuk dan dibentuk oleh lingkungan
hidupnya. Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya adalah sirkuler, berarti
jika terjadi perubahan pada lingkungan hidupnya maka manusia akan terpengaruh.
Uraian ini dapat menjelaskan akibat yang ditimbulkan oleh
adanya pencemaran lingkungan, terutama terhadap kesehatan dan mutu hidup
manusia. Misalnya, akibat polusi asap kendaraan atau cerobong industri, udara
yang dipergunakan untuk bernafas oleh manusia yang tinggal di lingkungan itu
akan tercemar oleh gas CO (karbon monoksida). Berkaitan dengan paparan ini,
perlakuan manusia terhadap lingkungan akan mempengaruhi mutu lingkungan
hidupnya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah
didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya
mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau
berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga
kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga dampak
IPTEK terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam yaitu; dampak secara
kimiawi, fisik dan biologis. Resiko kimiawi akibat IPTEk adalah:
senyawa-senyawa kimia berbahaya yang terdapat di air, tanah, udara dan makanan.
Resiko fisik akibat IPTEk adalah kebakaran, gempa bumi, letusan gunung berapi,
kebisingan, radiasi, sedimentasi. Resiko biologis akibat IPTEk adalah pathogen
(bakteri, virus, parasit), dan bahan kimia yang mengakibatkan kerusakan pada
jaringan tubuh.
Pencemaran terjadi bila dalam lingkungan terdapat bahan yang
menyebabkan timbulnya perubahan yang tidak diharapkan, baik yang bersifat
fisik, kimiawi maupun biologis sehingga mengganggu eksistensi manusia dan
aktivitas manusia serta organisme lainnya. Bahan penyebab pencemaran tersebut
disebut polutan. Polusi disebabkan terjadinya faktor-faktor tertentu yang
sangat menentukan ialah:
1. Jumlah penduduk
2. Jumlah Sumber Daya Alam yang digunakan oleh setiap
individu
3. Jumlah Polutan yang dikeluarkan oleh setiap jenis SDA
4. Teknologi yang digunakan
Penggunaan sumber daya yang salah menimbulkan erosi,
sedimentasi yang merusak, penggaraman tanah dan air, penggersangan lahan,
banjir dan sebagainya. Limbah dan sisa proses menimbulkan contamination dan
pollution atas udara, tanah dan air. Dampak menyebar dan meluas cepat lewat
udara dan air. Penyebaran dan peluasan dampak lewat tanah langsung berjalan
sangat lambat. Akan tetapi tanah dapat bertindak sebagai penyimpan zat atau
bahan pencemar atau pengotor selama waktu lama dan dengan demikian menjadi
sumber dampak yang nantinya akan tersebar lewat udara atau air. Zat pencemar
yang tersimpan dalam tanah juga dapat menyebar lewat serapan tanaman bersama
dengan panenan yang diangkut dan digunakan ditempat-tempat lain. Kalau zat
pencemar diserap tanaman pangan atau pakan, akan dapat mnimbulkan pencemaran
dakhil (internal pollution) atas orang atau ternak dimana-mana tempat
memperjual-belikan bahan pangan atau pakan tersebut. Sumber pencemaran dakhil
lebih sulit dilacak daripada sumber pencemaran lewat udara dan air.
Pencemaran dapat datang dari sumber pasti misalnya dari saluran
pembuang limbah pabrik atau datang dari sumber baur, misalnya dari aliran
limpas lahan pertanian, pencemaran sumber pasti secara nisbi lebih mudah
ditangani karena titik pelepasan bahan pencemar jelas dan susunan bahan
pencemar terbatas keanekaannya. Pencemaran sumber baur lebih sulit ditangani
karena titik pelepasannya dan titik asalnya berada di mana-mana dan susunan
bahan pencemarannya sangat beraneka.
Ada dampak yang tinggal di tempat dampak itu ditimbulkan,
misalnya pemampatan tanah oleh alat-alat berat dalam pembukaan lahan atau
penggaraman tanah oleh sistem irigasi yang dirancang tanpa memperhitungkan
neraca air pada antarmuka atmosfer tanah. Ada dampak yang diekspor ke tempat
lain dari tempat asalnya, misalnya erosi di hulu mengekspor dampak sedimentasi
ke hilir atau asap kendaraan bermotor dari jalur jalan diekspor ke kawasan
pertanian atau pemukiman sepanjang jalan. Kawasan yang mengimpor dampak
menghadapi persoalan serupa dengan yang terkena.
Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen utama dalam
“revolusi hijau” mampu meningkatkan hasil pertanian, karena adanya bibit
unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat suplemen, pestisida dan insektisida.
Dibalik itu, teknologi yang sama juga menghasilkan berbagai jenis racun yang
berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, bahkan akibat rutinnya digunakan
berbagai jenis pestisida ataupun insektisida mampu memperkuat daya tahan hama
tanaman misalnya wereng dan kutu loncat.
Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah dilakukan oleh
Magrath dan Arens pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam Sudjana dan Burhan
(ed.), 1996: 95), diperkirakan bahwa akibat erosi tanah yang terjadi di Jawa
nilai kerugian yang ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari GDP, dan lebih
besar lagi jika diperhitungkan kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat
kebakaran hutan, polusi di Jawa, dan terkurasnya kandungan sumber daya tanah di
Jawa.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang
disumbangkan oleh teknologi dan sektor industri di Indonesia, sesungguhnya
telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran
lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik,
Surabaya, Jakarta, bandung, Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir
seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga
banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong
berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari (Sudjana dan
Burhan (ed.), 1996:104), mencatat keadaan lingkungan di beberapa kota di
Indonesia, yaitu: Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di sekitar
daerah-daerah industri. Konsentrasi bahan pencemar yang berbahaya bagi
kesehatan penduduk seperti merkuri, kadmium, timah hitam, pestisida, meningkat
tajam dalam kandungan air permukaan dan biota airnya.
Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di musim
kemarau, sedangkan di musim penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda
banyak daerah yang berakibat merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang telah
rusak. Temperatur udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan
temperatur tertinggi di beberapa kola seperti Jakarta sudah mencapai 37 derajat
celcius. Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti CO, NO2r,
S02, dan debu. Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin
menipis, seperti minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada
tahun 2020. Luas hutan Indonesia semakin sempit akibat tidak terkendalinya
perambahan yang disengaja atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah
semakin tidak subur, dan lahan pertanian semakin menyempit dan mengalami
pencemaran.
0 komentar:
Post a Comment