BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia
dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan
berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada
beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal
maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah
dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter
berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan
beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan.
Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh
kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan
menjadi “menu utama” berbagai media di tanah air.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini
mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras,
warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran
hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara
terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara
sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi
manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada
kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan
penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari
memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak
sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan,
pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat
ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum,
pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada
beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat
dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat
Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada
Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk
menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Apakah penegakan hukum itu?
2. Apakah itu kejahatan HAM sebagai pelanggaran HAM yang
berkategori berat?
3. Bagaimanakah upaya perlindungan HAM itu?
BAB II
ANALISIS PERMASALAHAN
2.1 Penegakan
Hukum
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup
kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek
hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts
resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan
hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai
perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan
sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan
hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya –yang lebih sempit lagi—
melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan,
advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang
peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi,
jaksa, pengacara dan hakim. Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama
sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur
kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum
tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri.
Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi
dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat
penegakan hukum dari kacamata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum
terinstitusionalisasikan secara rasional dan impersonal (institutionalized).
Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan
melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai
faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan
kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i)
legislator (politisi)[1], (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii)
advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii)
jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk
meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut,
diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan
dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan
dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental,
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalangan
profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi
di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di
lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat
hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan.
Di samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula
dilakukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya
masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia,
Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga memerlukan
kepemimpinan dalam semua tingkatan yang memenuhi dua syarat. Pertama,
kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk
tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemimpinan tersebut
diharapkan dapat menjadi teladan bagi lingkungan yang dipimpinnya
masing-masing mengenai integritas kepribadian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah
proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization
and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu
norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan,
pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam
rangka perwujudan ide negara hukum di masa depan. Beberapa faktor yang
terkait dengan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan
infra struktur informasi hukum yang berbasis teknologi informasi (information
technology); (b) peningkatan Upaya Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi
Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan
citra dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.
Oleh karena itu, memahami hukum secara komprehensif
sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan
gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)
juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya
dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum
tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita
sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan
konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama
sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hendaklah dilihat sebagai bagian
dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara
Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print,
suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak
kita bangun dan tegakkan di masa depan.
2.1 Kejahatan HAM sebagai
pelanggaran HAM yang berkategori berat
Dengan bergulirnya reformasi yang diikuti dengan
demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak
pada upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa
Indonesia sebagai negara demokrasi menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi
adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan
konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka. Konstitusi kita mengatur
pula tentang perlindungan hak asasi manusia.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut tercermin
dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya,
terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadah sesuai agama dan
kepercayaanya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Perlindungan
hak asasi manusia dalam konstitusi setelah amandemen
kedua (18 Agustus 2000) terdapat pada Bab
X, Bab XA,Bab XI, Bab XII, dan Bab XIII.
Dalam perspektif nilai-nilai
universal, kejahatan atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan hal
baru. Nilai-nilai HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
setiap manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi,
dihormati dan tidak boleh diabaikan , dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Dalam
konteks internasional, upaya untuk mewujudkan penghormatan dan perlindungan
nilai-nilai HAM tersebut, antara lain terdokumentasi dalam suatu human
right law yang secara populer dikenal dengan istilah The
International Bill of Human Rights (berisi empat dokumen PBB yaitu Universal
Declaration of Human Rights 1948, International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights 1966, International Covenant on Civil and Political 1966
dan Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political
Rights 1966).
Perlindungan
hak asasi manusia di Indonesia secara lebih jelas dan terinci diatur pada
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang
tersebut secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup, dan hak untuk tidak dihilangkan
paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan
pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam
pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain
mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas
dan tanggungjawab pemerintah dalam penekan hak asasi manusia.
Kejahatan hak asasi manusia sebagai
pelanggaran HAM yang berkategori berat, adalah extra ordinary crimes (kejahatan
kuar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta menimbulkan kerugian baik materiel
maupun immateriel yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman,
kedailan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2 Denny J.A. “KPP HAM versus Para Jenderal”. Artikel pada
Harian Jawa Pos. 14 Februari 2002.
3 Muladi. 1999. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem
Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
4 Penegakan Hukum dan Peningkatan Demokrasi di Indonesia. Makalah. Juli 1997. Semarang.
Dalam
konteks diatas jenis dan indikator kejahatan HAM yang bersifat berat, meliputi
:
1. Kejahatan Genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1. membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok; atau
5. memidahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity),
yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan
apartheid (Pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000).
Harus diakui, bahwa istilah “Kejahatan HAM” relatif baru
mengemuka sebagai wacana , sekaligus tuntutan publik untuk menyelesaikannya di
saat orde reformasi terus bergulir, dengan euphorianya berusaha “menguliti”
berbagai macam kejahatan di masa sebelumnya. Diantara kejahatan masa lalu yang
dalam beberapa tahun terakhir ini mendapat sorotan tajam ialah jenis kejahatan
(kekerasan) struktural yang melibatkan aparat negara, terutama militer, dengan
korban penduduk sipil.
Kasus-kasus seperti kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di
Aceh, Tanjung Priok, 27 Juli, Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, Semanggi I dan
II, dan Triskati, adalah sederetan contoh yang telah melahirkan kesadaran
sekaligus desakan dari berbagai kalangan yang peduli terhadap perlunya
perlindungan hak-hak asasi manusia melalui piranti hukum dan kinerja institusi
penegaknya.
5 M. Kholiq, Abdul. Beberapa Catatan Kritis Peradilan
HAM dalam Hukum Positif Indonesia. Jurnal Magister Hukum. Vol.2. Juni 2002.
6 Prasetyo, Eko. 2001. HAM: Kejahatan Negara dan
Imperialisme Modal. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar.
7 Riewanto, Agust. “Pelanggaran HAM dan Asas Retro Aktif”.
Suara Merdeka. 16 Februari 2002
Adapun 5 penghambat penegakan hukum
dan HAM tahun 2010 yaitu:
1. Proses legislasi nasional terbukti telah mengagendakan RUU
yang mengancam kebebasan dasar manusia seperti RUU Zakat, RUU Rahasia Negara,
dan sebagainya.
2. Kebijakan hukum dan HAM akan semakin jauh dari penghormatan
HAM, yang tercermin dari sikap dan kebijakan pemerintah yang mengancam
kebebasan fundamental, seperti beragama dan berkeyakinan, kebebasan
berekspresi, dan kebebasan pers.
3. Penyelesaian kasus-kasus besar, skandal Bank Century,
pembunuhan Munir akan mengalami hambatan serius dan menjauhkan dari keadilan.
4. Pemberantasan mafia peradilan hanya akan menyentuh
kulit luar dan tebang pilih.
5. Sulit untuk mewujudkan kesejahteraan, karena tidak ada
perspektif lain dalam
pembangunan, kecuali yang
didorong oleh pemerintah, sebab parlemen hanya mengamini.
.3
Upaya Perlindungan HAM
Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan
pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama
melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui
berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan
individu maupun masyarakat dan negara.Negara-lah yang memiliki tugas utama
untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana hal
ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah :
(1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah
Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa;
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Upaya pelembagaan konsep perlindungan HAM dengan cara
meregulasikannya dalam undang-undang agar dapat ditegakkan sewaktu-waktu
terjadi pelanggaran terhadapnya, tampaknya bukan persoalan mudah. Terlebih lagi
apabila dengan maksud untuk “menyeret” ke meja hijau para pelaku pelanggaran
HAM masa lampau sebelum undang-undang HAM berlaku. Hal ini karena adanya
beberapa problem yang menyertainya, pertama, secara yuridis upaya tersebut akan
bertentangan dengan asas legalitas. Kedua, sebagian besar pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam
kerangka melaksanakan kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta
demikian tentunya sanagat mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa
pengadilan HAM hakikatnya adalah pengadilan terhadap kebijakan pemerintahan
negara. Pandangan inilah yang sering menyebabkan pihak-pihak yang diduga
terlibat pelanggaran HAM mengambil sikap tidak mau dan merasa tidak perlu
bertanggung jawab.
Ketiga, konsep HAM sebagai wacana yang relatif masih baru di
Indonesia, diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri terutama pada tataran
implementasi oleh aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim ad hoc.
Keempat, beberapa kelemahan substansial yang terdapat dalam undang-undang
Pengadilan HAM, secara politis mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu
untuk menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM. Misalnya ketentuan
dalam UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengadilan HAM ad hoc terhadap
kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu hanya dapat dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan dengan dasar Keputusan Presiden. Pengalaman
empirik membuktikan adanya intervensi kepentingan politik terhadap implementasi
UU tentang pengadilan HAM, yakni gagalnya upaya memperadilankan secara ad hoc
kasus Tri Sakti dan Semanggi.
Berdasarkan keempat kendala tersebut
diatas, dapat kita kaji satu per satu jalan keluar untuk mengatasi kendala
tersebut. Pertama untuk penyelesaian kemungkinan terjadinya pelanggaran asas
legalitas, maka ada ketentuan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut, dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran HAM yang
digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 39/1999).
Prinsip tersebut sesuai dengan ciri kejahatan hak asasi manusia yaitu extra
ordinary crime/ kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan
langkah-langkah penanganan yang luar biasa. Kedua adalah adanya hambatan yang
bersifat politis sebagai akibat dari suatu kebijakan penguasa. Hambatan kedua
tersebut dapat diatasi dengan pendekatan pola pikir penegakan hukum progresif
yaitu menjadikan hukum sebagai panglima dan mengesampingkan faktor-faktor politis.
Bahwa setiap pembuat kebijakan dan komando pelaksana, serta operator di
lapangan bertanggungjawab secara hukum. Seorang pengambil kebijakan yang tidak
berbuat/ melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran HAM padahal dia mempunyai
kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dapat
dijerat dengan ketentuan hukum tentang HAM.
Kendala ketiga adalah konsep hak
asasi manusia sebagai wacana yang relatif baru di Indonesia, sulit untuk
diimplementasikan. Hal tersebut tidak seluruhnya benar, namun dalam beberapa
kesempatan memang ada beberapa kendala sebagai akibat kurangnya pemahaman
terhadap konsep HAM. Kendala tersebut tidak hanya dialami oleh aparat
penegak hukum, namun juga oleh masyarakat secara luas dan aparatur keamanan.
Kelemahan pemahaman tentang hak asasi manusia bagi kalangan aparatur negara
bagi sipil maupun militer mengakibatkan keragu-raguan dalam melaksanakan
kewajiban dan tugas serta tanggungjawabnya. Hal ini terjadi karena adanya
kekhawatiran terjadinya pelanggaran hak asasi manusia atau takut dicap repreif
seperti rezim orde baru. Pemahaman tentang konsep hak asasi manusia bagi
seluruh kalangan/ lapisan masyarakat sebenarnya menjadi tugas bersama Komnas
HAM dan seluruh warga bangsa melaluicivil education/ pendidikan
kewarganegaraan.
Tujuan Komnas HAM sebagaimana amanat
konstitusi sebagai lembaga mandiri adalah mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi pelaksanaan hak asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk
mencapainya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan dan mediasi tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan civil
education, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan penyebarluasan
wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat, meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non
formal serta berbagai kalangan lainnya, serta bekerja sama dengan organisasi,
lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun
internasional dalam bidang hak asasi manusia.
Kendala keempat yaitu adanya kepentingan kelompok-kelompok
tertentu yang berupaya menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM,
dapat diatasi melalui pemahaman konsep HAM dan penegakan hukum di kalangan
politisi dan mendorong political will DPR yang mempunyai kewenangan
merekomendasikan pelanggaran HAM berat. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk melakukan
“sterilisasi” agar keputusan-keputusan DPR dapat benar-benar terjaga
“kebersihannya” dari interrest-interrest politik alias tetap fair dan obyektif
yuridis.
Konsep penyelesaian pelanggaran HAM
berat dapat dilakukan juga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/ KKR
apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut setelah melalui
penyelidikan secara mendalam oleh Komnas HAM tidak prospektif dan akan
mengalami banyak kendala jika diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Upaya-upaya tersebut diatas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa
lampau diharapkan dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan perlindungan HAM
dapat tercapai dan dapat mencegah terjadinya/ terulangnya pelanggaran serupa
dimasa mendatang. Dengan penegakan hukum dan keadilan maka perlindungan hak
asasi manusia warga negara Indonesia dapat tercapai sesuai cita-cita negara
hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau negara demokrasi
yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
8 M Purwadi/Koran SI/ram Rabu
(6/1/2009).
9 Asshiddiqie, Jimly. “Penegakan Hukum, Keadilan dan Hak
Asasi Manusia”. Makalah. 30 April 2002. Yogyakarta.
10 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
11 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam
pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penegakan Hukum (law enforcement)
dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui
prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative
desputes or conflicts resolution). dalam pengertian yang lebih luas lagi,
kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan
agar hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para
subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar
ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
2.
Kejahatan hak asasi manusia sebagai pelanggaran HAM yang
berkategori berat, adalah extra ordinary crimes (kejahatan
luar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun
internasional serta menimbulkan kerugian baik materiel maupun immateriel yang
mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat,
sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk
mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, kedailan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
3.
Upaya perlindungan HAM penekanannya
pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM.
Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan
HAM. Juga dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan
HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara.Negara-lah yang
memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak
asasinya. Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada
intinya tujuan NKRI adalah : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
3.2 Saran
Peningkatan pemahaman terhadap
konsep hak asasi manusia kepada seluruh komponen masyarakat perlu lebih
ditumbuh kembangkan dan diperdalam, sesuai doktrin hukum yang bersifat
universal, yaitu hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan
masyarakat (social reform). Dan karena itu ketidaktahuan atau
kekurang pahaman masyarakat akan hukum tentang perlindungan hak asasi manusia tidak
boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis.
0 komentar:
Post a Comment